077

Hari ketiga, barangkali bukan durasi yang cukup untuk mengenali sebuah desa apalagi memberi penilaian. Maka ini hanyalah cerita.

Sebut aku manusia pada umumnya. Manusia yang selalu ingin tahu alasan-alasan mengapa sesuatu menimpa dirinya. Termasuk mengapa takdir menjatuhkanku di sini. Di pulau yang tak terlihat di peta dunia, titik kecil tak bernama antara Kalimatan dan Jawa Timur di peta Indonesia. Namanya Pulau Bawean yang berarti ada matahari. Terdapat rusa endemik dan buah merah yang rasanya seperti campuran apel dan durian. Landscape laut dan perbukitannya indah. setidaknya demikian informasi yang kudapat di mesin pencari internet. Lalu beberapa informasi tambahan mulai berdatangan. Kaum prianya sangat sedikit. Sebagian besar daerah dihuni oleh perempuan paruh baya. Para lelakinya pergi berlayar. Mungkin bekerja di kapal. Mungkin menjadi TKI di Malaysia. Begitupun dengan anak-anak mereka yang masih di bawah umur, selepas dari Sekolah Dasar, pikiran mereka terserap untuk menjejak negara Malaysia. Cerita-cerita indah tersebar cepat tentang betapa menjanjikannya negeri upin-ipin itu. Mungkin mereka lebih paham Malaysia dibanding Indonesia.

Salah seorang muridku bertanya,

“Ibu asalnya dari mana?” ujarnya ingin tahu.

“Ibu dari pulau Sumatera, ” mata mereka makin melebar karena rasa penasaran.

“Presiden di Sumatera itu siapa Bu?”

Alahmak, mulutku yang bersiap menjawab langsung terkunci. Pulau ini begitu mengundang decak kagum. Setidaknya begitu tanggapan teman-teman yang kukirimi hasil jepretanku beberapa hari yang lalu. Ah, sudahlah, yang jelas kita tetap Indonesia. Kita adalah sama dengan akar sifat keramahan yang sama. Seperti hari ini, aku mengunjungi rumah Pak Lurah, Ibu angkat PM, dan Kepala sekolahku. Mereka semua selalu menyuguhkan makanan dan minuman dan harus dihabiskan! Jika tidak mereka akan marah dan tersinggung. Rasanya mau meledak kekenyangan perut ini. Ada soto khas Bawean yang tak mungkin ditolak, es degan, milo Malaysia yang kutebak stok wajib ada di setiap rumah.

Di rumah, selepas magrib, amak, ibu angkatku membuatkan makan malam yang tak kalah mengundang selera. Dan harus dihabiskan tanpa sisa. Ia selalu memintaku menambah makan karena ia masak banyak sekali. Ia takut selama tinggal di rumahnya akan membuatku kurus tinggal tulang. Ia tak mau kemiskinannya menyusahkanku di sini. Ah, di belahan dunia manapun, Ibu selalu sama! Selalu mengkhawatirkan hal-hal yang menurut anak-anaknya adalah konyol. Aku merindukan Ibuku.

Amak tak mengenyam pendidikan tinggi namun anaknya termasuk satu dari ratusan anak Panyal Pangan, desa penempatanku, yang pendidikannya sampai ke tahap perguruan tinggi. Namanya Halif, ia lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Islam jurusan Pendidikan Agama Islam. Ia akan diwisuda Oktober nanti di Gresik. Amak yang sehari-hari berjualan hasil tanamnya sendiri di pasar, sangat bangga pada anak ke empatnya itu. Sang suami telah tiada sejak 20 tahun silam. Perempuan hebat ini harus bekerja untuk memberi makan lima orang anak, satu orang adik yang cacat dan 3 orang anak  dari adiknya yang berlayar ke Malaysia.

Perasaanku diaduk-aduk.  Dibalik banyak hal yang belum bisa kuterima dengan akal sehat, aku bersyukur bertemu keluarga luar biasa ini. Mungkin Tuhan sedang mengajarkanku dengan caranya. Cara yang tak berterima awalnya namun (semoga) bermakna akhirnya.

20 Juni 2014