9 Peristiwa Tak Berurutan

Pertama, melihat kamu di hari Sabtu setelah menghabiskan sepanjang Senin hingga Jumat di perputakaan kampus yang jenuh. Kamu menunggu disamping penjual apel yang selalu tampak sumringah. Rambutmu setengah basah sisa habis keramas yang belum kering. Khusus hari ini bajumu rapi dan beraroma pewangi pakaian karena kamu tidak begitu menyukai parfum. Kamu melambaikan tangan melihatku yang baru saja menyeberang. Mukaku merona merah entah kenapa. Mungkin karena menerka raut wajahmu selalu terasa seperti pertama kali bertemu.  Lelaki berwajah asing yang telah lama kujatuhi cinta.

Ketiga, mencetak fotoku banyak sekali untuk kamu tunjukkan pada keluarga besarmu di kampung halaman. Agar mereka tahu rupa kekasih yang selalu kamu banggakan. Kekasih yang selalu kamu sebut-sebut namanya di depan nenekmu yang pelupa. Meski pada akhirnya semua foto itu kamu buang juga ke sungai tempatmu biasa merenung, tempat seluruh benda pemberianku berakhir.

Keenam, menghambur dalam pelukanmu yang berdiri kaku di depan pintu kedatangan bandara tanpa peduli ada seratus pasang mata melotot ke arah kita. Hari itu pertama kalinya kita bertemu lagi setelah dua setengah tahun yang panjang. Kamu bilang rambutku tumbuh dengan cepat dan kamu suka warnanya yang selalu mengejutkan.

Kedua, memeluk tubuh gemetarmu yang kedinginan dari belakang. Kamu bersikeras mengantarku pulang padahal malam itu hujan menderu kelewat deras. Katamu, ini adalah tentang janji untuk selalu menjagaku. Membiarkanku pulang sendirian saat langit sudah sangat gelap adalah kejahatan terencana seorang kekasih.

Kelima, selalu meneleponku dengan teratur setiap hari. Seperti makan, seperti minum obat bagi orang sakit, seperti kekasih yang merindu. Kamu juga mengirimiku pesan pendek berisi semangat bercampur duka yang tak kuketahui darimana kamu mendapatkannya.

Keempat, melepasku pergi dengan senyum tulus sementara pikiranku sibuk merencanakan perselingkuhan dengan seseorang yang belum lama kukenal. Kamu membawakan koperku yang beratnya agak berlebihan itu tanpa mengeluh. Berpesan agar aku berhati-hati di negeri yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Lalu meminta maaf karena sementara waktu tidak bisa menjagaku.

Kedelapan, senyum pertamamu setelah berhari-hari mengurung diri. Aku berlari ke arahmu karena tak sabar mengabarkan. Bahwa aku memutuskan kembali padamu. Memutuskan memulai semuanya dari awal lagi, perlahan. Sepertinya saat itu kamu hampir menangis karena senangmu yang tak terbendung. Meski  pada akhirnya, aku masih meninggalkanmu.

Ketujuh, menghadiahiku sepotong gaun yang membuat gadis manapun iri. Kamu mengumpulkan uang setahun sebelumnya agar mampu membeli. Bahkan bekerja paruh waktu untuk menggenapkan tabunganmu karena gaun itu sangat mahal. Lebih mahal dari kemeja, celana dan sepatumu jika digabungkan. Gaun itu masih ada menggantung indah di dalam lemari coklat tuaku.

Kesembilan, mereject teleponku, tidak membalas satupun pesanku dan memblokir namaku dari seluruh media sosialmu. Aku tak mampu lagi memeluk punggungmu atau sekedar menghitung berapa jengkal jarak antara tulang pipimu yang tirus. Kamu menghilang dan tak pernah kembali lagi.

Maaf, aku menuliskannya tanpa urutan karena menurutku peristiwa tak sepantasnya dibariskan melalui urut angka. Aku bersalah, bertobat lalu mengulanginya. Kamu memaafkan, tersenyum lalu terluka lagi, entah mana yang lebih dulu terjadi.

Nb: peristiwa nomor 9 adalah satu-satunya kejadian dengan urutan yang benar