Di suatu hari yang biasa di rumah kecil dua lantai kita kau melontarkan sebuah pernyataan. “Dulu kamu suka bertingkah imut ya. Cara bicaramu sangat menggemaskan” aku terdiam. Berpikir. Bagian mana cara bicaraku yang menggemaskan?. Sebab kita kian bertengkar setiap kali aku buka suara. Kau bilang kalimatku sedingin es. Membuat orang-orang menggigil dan mencari tempat yang lebih hangat. Ucapanku tajam seperti pisau lama yang selalu diasah. Aku juga gemar menyudutkan dengan pilihan kata penghancur ego. Ego yang susah payah dibangun seseorang. Maka kata menggemaskan tentu tak cocok dengan segala penggambaran di atas. 

“Kapan aku menggemaskan?” akhirnya aku bertanya datar. 

“Sepuluh tahun yang lalu” balasmu menahan tawa. 

“Kenapa sekarang tidak lagi ya?”

“Mungkin karena responku”

“Respon?”

“Iya, aku tidak memberikan respon yang seharusnya”

“Bagaimana?”

“Hanya datar”

“Oh, berarti sekarang kita bertukar peran” Kalimat terakhir yang membuat keheningan panjang. 

Aku kembali menghidupkan keran untuk mencuci piring. Sebab tak ada lagi lanjutan percakapan tadi. Kau pun kembali merapikan runag kerjamu yang selalu berantakan dengan lego dan kertas gambar. 

Perihal peran memang kadang membingungkan. Kita tak pernah menetap terlalu lama di satu karakter. Kita kadang bertukar dan berimprovisasi sesuai kebutuhan. Karena begitulah cara bertahan. Paling tidak itu cara yang sama-sama kita pahami. Dan terbukti pada akhir hari membuat kita baik-baik saja. 

Tidak ada hidup yang benar-benar bahagia. Sebaliknya tak ada hidup yang teramat sangat kacau dan menyedihkan. Semuanya hanya sementara. Kita hanya orang-orang yang berusaha melewati setiap harinya semampu kita. Bangun tidur sedikit kesiangan. Membersihkan sarang agar nyaman ditinggali, membuat makanan agar bertenaga. Lalu bekerja. Sebab tubuh dan pikiran ditakdirkan untuk bekerja. Jika tidak ia akan tumpul, menggelembung dan sakit. Aku rasa bergerak dan bekerjalah yang membuat kita tetap bertahan di hidup yang penuh ketidakberuntungan ini.

Tentu saja kita bekerja keras untuk uang yang selalu kita agungkan itu. Uang yang membuatku memendam dendam. Uang yang sama yang selalu membuatku bersemangat. Memutar otak bagaimana cara membuat orang-orang merogoh sedikit uangnya untukku. Ia seperti tujuan hidup. Uang memang sangat jujur. Ia akan mengungkap jati dirimu.

Untukku, ia selalu membuatku khawatir di siang hari dan bermimpi buruk di malam hari. Sungguh menyedihkan harus mengkhawatirkan sesuatu yang sudah kita miliki. Setiap detik selalu memikirkan cara untuk menambah dan menambahnya lagi. Khawatir jika ia tidak akan pernah cukup. Jalan hidup tak pernah tepat seperti dugaanmu. BMKG saja kerap salah meramalkan cuaca. Lalu kau berusaha meramalkan hidup? Kau sudah gila? Pantas saja kau tak menggemaskan lagi. Wajahmu selalu berkerut ulah berpikir dan khawatir!